Nasib Malang Arak Tuban Yang Harus Raib Dari Peradaban Bumi Ronggolawe

Arak tuban, awal produksi sejak era penjajahan belanda. berbagai suka duka dalam pengedaran arak tuban karena pada saat itu masa kepemimpinan masih di bawah naungan belanda.
dan berikut ini sedikit cuplikan history arak tuban yang sempat di tulis oleh Paring Waluyo Utomo di sebuah web media perempuan Srintil.org. dan kami pun sengat  mengamati betapa panjang sejarah tentang masa pahitnya perjalanan arak tuban.

Berikut cuplikan history tentang arak tuban:


Arak dan Tuak dalam Proyek “Kota Lama”
Setelah sekian lama ditinggalkan sebagai pusat kekuasaan dan ekonomi, khususnya sejak masa pendudukan VOC, Prunggahan Kulon berubah menjadi desa sepi, seperti kebanyakan desa lainnya di kabupaten Tuban. Kemegahan kawasan karena pembangunan telah bergeser ke sekitar alun-alun Kota Tuban. Alu-alun Tuban lama seperti yang digambarkan oleh Van Warwijck diatas, kini tak lebih tanah lapang yang bukan sentral lagi dalam kosmologi tata ruang, dan politik pembangunan. 


Bekas alun-alun kabupaten Tuban itu, kini hanya dipakai sebagai lokasi pelaksanaan ritus manganan, dan tayuban. Keduanya dilaksanakan setiap setahun sekali. Surutnya desa Prunggahan Kulon sebagai pusat peradaban, mengundang banyak tokoh setempat untuk menjadikan kawasan ini sebagai situs penting, dan membangkitkan kembali kejayaan kabupaten Tuban seperti massa keemasannya tatkala dipimpin oleh Adipati Ronggolawe.


Dalam benak orang pada umumnya di Tuban, masa kepemimpinan Adipati Ronggolawe, adipati ketiga di Tuban, adalah masa kepemimpinan dan kejayaan Kabupaten Tuban. Dalam cerita-cerita lisan masyakarat setempat, Ronggolawe ikut berjasa besar mendirikan kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara, yakni kerajaan Majapahit. Namun karena intrik keji di internal kraton, jasa Ronggolawe tak diakui. Namun demi menjaga martabat kabupaten Tuban, ia tak mau mengekor kekuasaan Majapahit yang penuh intrik. Meskipun harus diserang oleh Majapahit, ia mempertahankan Tuban hingga mengorbankan nyawanya. Bahkan, untuk mengenang heroisme Ronggolawe yang gagah bersama kuda kesayangannya, Pemerintah Kabupaten Tuban menjadikan kuda tunggangan Ronggolawe sebagai lambang kabupaten ini.


Berbekal situs-situs yang masih tersisa dan ritus-ritus yang masih dilakukan, dengan bumbu cerita lisan dari para sesepuh desa, pemuka desa Prunggahan Kulon berharap Pemerintah Kabupaten Tuban menjadikan kawasan desanya sebagai proyek “Kota Lama”. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Desa (Kades) Prunggahan Kulon. Liek Soerito, berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban tidak mengabaikan peninggalan sejarah. Harapan itu disampaikan Liek Soerito lantaran Pemkab dinilai kurang memberi perhatian pada tempat-tempat sejarah, terutama Prunggahan Kulon yang telah diketahui sebagai bekas “kotaraja” atau ibu kota Kabupaten Tuban tempo dulu. “Harusnya Kota Lama ini diproteksi sebagai cagar budaya. Sebab dari sinilah sejarah kabupaten Tuban dimulai,” klaim Liek Soerito.


Meskipun belum mendapatkan tanggapan serius dari Pemerintah Kabupaten Tuban, sebenarnya apa bayangan pemerintah desa tentang proyek menjadikan Desa Prunggahan Kulon sebagai kota lama? Imajinasi tentang “Kota Lama” dapat kita pahami dari pernyataan Kepala Desa Prunggahan Kulon sendiri.

Kita bisa meniru desa Trowulan, Mojokerto atau bahkan Solo dan Yogyakarta. Kota-kota tersebut mampu menjadi kota budaya dan wisata yang memberi income luar biasa, baik pada pemerintah maupun masyarakatnya. “Kalau Pemkab serius, Prunggahan Kulon bisa dihidupkan kembali sebagai kota lama. Ditata sedemikian rupa sehingga suasana kebudayaan asli Tuban masa lalu benar-benar bisa ditemukan di sini, termasuk budaya memelihara kuda dan profesi kusir andong,” jelas Liek Soerito. Karena kurangnya kepedulian Pemkab, kata Liek Soerita, sedikit demi sedikit peninggalan sejarah dan budaya Tuban masa lalu hilang dari Prunggahan Kulon. Jumlah pemilik kuda dan andong juga terus menyusut. Tidak ada data resmi yang dimiliki Liek Soerito, tetapi ia memperkirakan saat ini jumlahnya tinggal belasan orang saja.14


Sangat jelas dan gamblang pesan Kepala Desa Prunggahan Kulon, menemukan kembali (invensi) Tuban dalam bingkai wisata, menjual apa yang ada dengan diseleksi lebih dulu apa saja yang boleh tampil dan tidak kepada wisatawan. Secuil contoh, dalam monografi desa saja dengan sengaja pemerintah desa tidak menghitung produksi dan konsumsi tuak dan arak sebagai penggerak ekonomi desa. Pemerintah desa lebih menonjolkan aktivitas “legal” seperti bertani dan beternak sebagai data ekonomi desa yang boleh ditampilkan.


Meskipun pemerintah desa tidak menyatakan secara eksplisit, tentu tuak dan arak di desa ini menjadi bagian dari properti yang bakal terseleksi untuk tidak boleh tampil, jika proyek invensi “Kota Lama” ini dikerjakan. Bahkan, bisa jadi, tuak dan arak yang menjadi pertanda tuanya peradaban di wilayah ini bakal tersingkir, jika proyek invensi itu benar-benar terjadi.


Padahal praktek produksi tuak dan arak di Desa Prunggahan Kulon telah berlangsung lama, dari generasi ke generasi. Arak di Prunggahan Kulon diperkirakan dikenal sejak pusat kekuasaan Kabupaten Tuban berada di wilayah ini. Menurut S15, perempuan 55 tahun, warga setempat, bahwa ia mendapatkan pengetahuan membuat arak dari para leluhurnya. “Embah saya dulu sudah membuat arak,” ujar S. Jika S sekarang berumur 55 tahun, bisa terbayang ketrampilannya membuat arak telah berjalan sangat lama.


Tuban sebagai wilayah yang terbuka, dan terluar dalam sistem kebudayaan Jawa, membuka kesempatan luas masyarakatnya untuk menerima pola-pola produksi, dan konsumsi baru. Dari cerita beberapa sesepuh kampung, termasuk S, dan para orang tua di desa Prunggahan Kulon, mereka dahulunya membuat arak diajari oleh beberapa warga keturunan China. Orang-orang China yang telah lama menetap di Tuban sejak jaman Singasari, membutuhkan arak, selain untuk minum dan ritual, juga untuk memandikan dan mengawetnya mayat sebelum dibakar atau dikuburkan.


Meski keberadaan arak lebih dahulu ada, setelah pendudukan VOC di Tuban, pasca perjanjian dengan Amangkurat II, merebak pula produksi dan perdagangan opium di Jawa. Rata-rata opium beredar sebanyak 56 ton per tahun. Pada tahun 1800 menjamur penjualan dan peredaran opium di seluruh Jawa, bahkan Madura. Di Yogjakarta sendiri terdapat 372 tempat penjualan opium. Surakarta dan Madiun sebagai produksi dan domisili bandar opium terbesar di Jawa. Kedua bandar itu menjadi penghasil pajak terbesar. Peringkat kedua diduduki oleh Semarang, Rembang, Yogjakarta, dan Surabaya. Wilayah Tuban, Besuki, Probolinggo, dan Ponorogo sebagai peringkat ketiga penghasil pajak opium bagi VOC.16


Sebagaimana tuak dan arak pada masa lalu, suplai opium juga sebagai media keramahtamahan di kalangan 2001elit-elit Jawa. Tuak, arak, dan opium menjadi gaya hidup. Bahkan para prajurit Diponegoro banyak yang jatuh sakit ketika pasokan opium untuk mereka terganggu. Era itu, menyediakan arak dan opium untuk para tamu lelaki, bahkan di pesta-pesta pernikahan menjadi pemandangan yang umum. Namun mereka menghisap opium sebatas sebagai kenikmatan sesaat, bukan dimaksudkan untuk mabuk, apalagi mencandu.17 Suguhan arak dan opium pada masa itu, kira-kira seperti keberadaan rokok dan minuman berkarbonansi pada jaman sekarang ini.


Di kalangan orang-orang China, baik dalam keluarga besar maupun individual, mereka menghisap opium di klub-klub opium yang eksklusif, sementara kalangan keluarga China yang miskin menghisap opium dan minum arak di rumah-rumah bersama penduduk setempat.18 Produksi dan peredaran opium mulai menurun ketika kebijakan politik etis menyeruak di banyak dimensi. Pemerintah kolonial sendiri sangat berkepentingan akan makin banyaknya penjualan candu ke masyarakat, tapi lambat-laun juga sadar akan kejelekan akibat pengisapan opium. Kesadaran tersebut juga timbul di kalangan China dengan pendidikan Barat (Belanda) seperti Dr. Sim Ki Ay. Zaman politik etis (1900) mempertebal kesadaran ini.19


Peredaran dan bisnis opium menjadi semakin surut ketika beberapa bandar besar opium di Solo dan Semarang tertangkap dan tutup usahanya. Bandar-bandar opium kala itu memang dikuasai oleh opsir-opsir kalangan China. Beberapa bandar besar yang menjadi opsir diantaranya Be Biauw Tjoan sebagai mayoor de Chinesen. Ia langsung dicopot sebagai opsir, yang otomatis melucuti juga kekuasaannya untuk mengatur peredaran opium, yang berakibat bangkrutnya usaha dia.20


Surutnya industri opium pada masa pendudukan Belanda, tidak berlaku bagi tuak dan arak di Tuban. Tuak dan arak masih diproduksi masyarakat di sekitar Tuban, khususnya desa Prunggahan Kulon. Bahkan, produksi itu masih berjalan hingga kini, dalam skala kecil oleh industri rumahan, sementara yang skala lebih kecil lagi dimotori oleh para perempuan paruh baya yang ada di desa ini.


Dalam seharinya, untuk skala industri rumahan, warga Desa Prunggahan Kulon bisa memproduksi ratusan liter arak. Tercatat beberapa warga setempat memiliki alat-alat produksi arak dalam skala besar, meski masih dalam skala industri kecil. Untuk membuat arak dibutuhkan tungku, alat perebus bahan-bahan arak, dan pipa sulingan untuk menyalurkan uap yang keluar dari rebusan bahan-bahan arak. Biasanya tungku dan sulingan terbuat dari tembaga, agar bisa menahan panas dalam waktu yang lama. Untuk menghindari melelehnya pipa saluran uap arak, pipa itu dilewatkan air dingin, sehingga suhunya tetap stabil.


Dalam amatan kami, setidaknya ada belasan lokasi pembuatan arak dalam skala industri kecil ini. Salah satunya dimiliki oleh T, laki-laki 38 tahun, lulusan Sekolah Teknologi Menengah (STM). Industri arak yang dimiliki oleh T tergolong lumayan. Ia memiliki dua kompor besar untuk menyuling arak, agar bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan liter arak setiap harinya. Setiap kali produksi, arak-arak tersebut telah ada yang membelinya. “Pembelinya dari berbagai kota di luar Tuban, seperti Malang, Surabaya, Sidoarjo, atau Lamongan,” ujar T


Untuk menjaga agar produksi araknya tetap aman, T dan beberapa pembuat arak lainnya di kampung itu memberi upeti kepada petugas keamanan. Upeti itu sebesar Rp. 5.500 setiap tabung besar (drum) yang berisi arak penuh. Upeti ini hanya sebatas untuk mengamankan produksi. Bagaimana dengan distribusi dan penjualannya? “Kami tidak bertanggungjawab terkait distribusi dan penjualannya, pembeli mengambil sendiri kemari, dan mereka yang harus memiliki cara sendiri untuk bisa bebas menjual” imbuh lelaki yang masih melajang ini.


Dahulu sebelum arak diproduksi dengan sistem industri rumahan, dengan skala ratusan liter per-harinya, tiada operasi aparat keamanan. Saat itu arak masih diproduksi secara sederhana dengan kapasitas produksi terbatas, dan dikerjakan oleh kaum perempuan di Prunggahan Kulon. Sejak arak dikaitkan dengan industri, yang menghasilkan omset yang menjanjikan, barulah pihak-pihak keamanan ikut melakukan operasi-operasi di kampung ini.


Kebijakan ini otomatis berdampak pada usaha kecil-kecilan yang telah dilakukan oleh kaum perempuan di kampung ini. Keresahan itu disampaikan oleh S, ketika harus memproduksi arak, padahal kegiatan itu menjadi satu-satunya sumber ekonominya, bahkan sebagai biaya untuk membesarkan anak semata wayangnya, hingga berumah tangga :


“Sejak adanya kegiatan operasi-operasi aparat keamanan dikampung ini, kami tentu ikut khawatir mas. Dahulu paling kami saat mengirimkan arak ke beberapa warga keturunan Tionghoa di kota, ditanya cukainya, kalau tidak ada cukainya diambil, kalau ada cukai araknya dibiarkan. Kalaupun arak waktu itu tidak ada cukainya, polisi Belanda hanya mengambil araknya, tetapi tidak menahan yang akan menjualnya. Tetapi sekarang ini, kalau sampai tertangkap saat memproduksi arak, kami otomatis akan ikut ditahan karena melakukan pekerjaan yang terlarang. Situasi ini yang membuat kami bagaimanapun juga diliputi rasa was-was.”


Untuk mengatasi kekhawatiran itu, banyak warga dan pengusaha produsen arak di Prunggahan Kulon harus memakai teknik upeti, seperti kisah di atas. Dengan memberikan upeti kepada aparat keamanan setiap kali produksi, T dan warga setempat akan mendapatkan informasi dari petugas keamanan setempat jika akan dilakukan operasi-operasi pembersihan, atau penangkapan pembuat arak. Berbekal informasi awal itulah T dan warga setempat segera mengungsikan peralatan pembuatan produksi arak, bahkan, jika dirasa perlu untuk “bandar-bandar” produsen arak harus pergi sementara dari kampung halamannya, sampai mendapatkan informasi tentang suasana yang kondusif untuk kembali ke rumahnya. Strategi itu ditempuh oleh warga setempat untuk tetap bisa membuat arak.


Agar “taste” arak nikmat, masing-masing pembuat arak di Prunggahan Kulon memiliki resep yang sangat rahasia. Komposisi adonan dan bahan baku arak umumnya sama, yakni dari beras ketan, gula merah, dan ragi yang terbuat dari ramuan herbal. Konon, ragi semacam “bumbu penyedap” yang sangat menentukan kualitas rasa arak saat disuling nanti. Ragi mirip bebekan dalam tuak, sebagai pengatur selera. Karena memiliki peran sentral, masing-masing pembuat arak akan merahasiakan dosis dan teknis pembuatan ragi. Bahan-bahan untuk membuat ragi juga tersedia dari beragam jenis tanaman herbal yang ada di desa Prunggahan Kulon.


Pemakaian jenis beras sebagai bahan baku utama juga sangat berpengaruh pada kualitas arak yang dihasilkan. Umumnya warga menggunakan beras ketan, namun beberapa kaum perempuan lainnya tidak menggunakan beras ketan untuk menghemat biaya produksi. “Terkadang beras ketan mahal mas, sehingga ini berakibat pada mahalnya harga arak yang harus kami jual. Itu yang menjadi pertimbangan, terkadang kami harus menggunakan jenis beras lainnya yang lebih murah,” ujar S.


Berbekal bahan baku yang mudah didapatkan dari lokasi setempat, warga Prunggahan Kulon sangat tak tergantung dengan pasokan bahan baku dari luar. “Bahan-bahan untuk membuat arak semuanya ada di desa ini mas, kalaupun permintaan banyak, dan stok bahan baku menipis bisa beli di pasar baru Tuban,” ujar T.

Kadar arak yang dijual keluar memiliki tingkatan masing masing. Arak sulingan pertama biasanya tidak dipakai, karena kadar alkoholnya tinggi. Arak sulingan pertama inilah biasanya untuk keperluan medis di kalangan orang-orang keturunan China, terutama yang masih menggunakan teknis pengobatan tradisional. Baru proses sulingan kedua, yang kadar alkhoholnya diperkirakan 40-60 persen, yang diperjual belikan secara luas. Untuk sulingan arak ketiga dan seterusnya biasanya tidak diperjualbelikan secara luas, sebab harganya memang telah turun drastis ditambah peminatnya yang sedikit.


Bagi kalangan perempuan yang ikut menekuni usaha ini, produksi araknya jauh lebih rendah. Seperti yang dilakukan oleh S, ia membuat arak untuk mendapatkan penghasilan. Sejak suaminya meninggal belasan tahun lalu, S melanjutkan usaha suaminya membuat arak untuk menyambung hidup, membesarkan anaknya hingga dewasa, bahkan kini S telah memiliki seorang cucu dari anak semata wayangnya.

Berbeda dengan T yang memiliki kompor besar untuk menyuling arak, S hanya berbekal kompor dari tungku kayu bakar. Jika tidak ada masa penggrebekan dari aparat keamanan, dalam setiap minggunya S bisa memproduksi antara 20 hingga 50 liter arak. Untuk penjualannya, S menyatakan;

“Penjualan minuman ini saya ikut pada juragan-juragan arak besar di kampung ini mas, sebab mereka sendiri sebenarnya kekurangan pasokan arak, mengingat permintaan yang banyak. Jadi saya harus mengikuti selera permintaan arak dari mereka. Selain itu, saya atau ibu-ibu produsen arak lainnya di kampung ini biasanya melayani pembelian arak ukuran botolan satu literan. Satu liter arak yang ditempatkan dalam bekas botol minuman mineral ukuran 1 liter biasanya kami mendapatkan uang Rp. 15.000 – 20.000,-. Untuk pembelian seukuran seperti itu, biasanya dilakukan oleh warga sekitar daerah ini, jadi bukan orang-orang yang jauh dari sini. Uang itu sangat berguna untuk menambah ekonomi keluarga disini.”


Belakangan saat anak S yang bernawa KW telah tumbuh dewasa, anaknya menghendaki agar S tidak lagi membuat arak. KW berpandangan, jika ibunya tetap membuat arak, akan sangat berisiko berurusan dengan aparat keamanan. Selain itu, umumnya kaum muda terdidik di Tuban, melihat kegiatan-kegiatan lama, seperti minum tuak dan membuat arak seperti yang dilakukan oleh ibunya dianggap aib. “Saya tentu tidak berkeinginan teman-teman sekolah saya waktu itu mengetahui kalau pekerjaan orang tua saya tukang membuat arak,”ujar KW.


Desakan anaknya untuk tidak membuat arak memang diakui oleh S. Ia berujar :
“KW memang melarang saya untuk membuat arak lagi mas. Katanya KW malu dengan teman-temannya sejak sekolah dulu, sampai dia sekarang, meski ia sudah berumah tangga. Kalau saya tidak membuat arak, lalu darimana sumber penghidupan ekonomi saya. Saya juga tidak mau menggantungkan sumber dari pemberian KW. Apalagi pekerjaannya juga satpam, yang tentu pendapatannya tak seberapa.”


Untuk menghormati pendapat dan keinginan KW, biasanya S tidak membuat arak saat KW ada di rumah. Saat KW bersama isterinya tidak di rumah, maka S kembali membuat arak untuk mengepulkan dapurnya. Cara ini harus ditempuh S tidak saja untuk urusan dapur, lebih dari itu untuk menjaga tradisi, agar barang-barang pembuatan araknya tidak lagi menjadi artefak yang tiba waktunya untuk diloakkan.

Dengan beragam teknik dan strategi, kaum perempuan pembuat arak di desa Prunggahan Kulon bertahan, mereka tidak saja terhimpit ketatnya aturan yang melarang, tetapi juga dominasi produsen arak besar meskipun dalam skala rumahan. Sisi yang lain, kalangan keluarga juga ada yang menentang dengan berbagai latar belakang. Yang cukup menarik adalah kalangan agamawan yang ada di desa Prunggahan Kulon. 

Meskipun di desa ini terdapat Pesantren Sunan Bonang, namun kalangan pesantren tidak serta merta dengan “brutal” memerangi pembuat arak.

Kalangan pesantren sesekali menghimbau kepada masyarakat desa Prunggahan Kulon untuk mengurangi membuat dan meminum arak atau tuak. Dalam keseharian, kalangan Pesantren Sunan Bonang lebih mengedepankan pendidikan agama ketimbang membuat pelarangan-pelarangan dalam meminum arak secara frontal kepada masyarakat. Seolah mengerti peran yang harus diperankan masing-masing, perbedaan kultural, pemahaman, dan pola hidup dikalangan desa Prunggahan Kulon yang plural menjadikan desa ini sebagai kawasan yang penuh ragam identitas, tapi dalam harmoni.[]

Sungguh sangat menyayangkan panjangnya kisah perjalanan arak tuban yang harus raib karena ulah oknum yang kurang bertanggung jawab,  dan membuat kita sangat tersentuh akan nasib home industri  arak tuban yang harus kehilangan mata pencahariannya. padahal, dari home industri arak tuban itulah mereka menggantungkan hidupnya..

Kami sebagai warga tuban hanya bisa mengungkapkan bahwa Arak Tuban tidak beracun dan tidak akan pernah beracun selagi itu murni tanpa campuran minuman lainnya..
dan kami sebagai warga tuban hanya bisa berharap, semoga arak tuban bisa produksi lagi sebagai budaya dan minuman khas seperti sedia kala yang bisa mengangkat nama tuban hingga ke manca negara. 
dan harapan kami nantinya bisa menarik perhatian wisatawan manca negara untuk berkujung ke bumi ronggolawe tercinta..

Salam..

0 0 komentar: