Sebagian para perempuan ini memang sudah menikah. Namun, para suami mereka
bekerja jauh dari kampung halamannya dan hanya boleh kembali pada akhir pekan.
Sementara itu, para anak laki-laki diminta meninggalkan kota
itu saat berusia 18 tahun dan tak ada pria lain yang diizinkan tinggal di kota
yang terletak di sebuah lembah terpencil, sekitar 96 kilometer dari kota Belo
Horizonte.
Kota ini berdiri pada 1890-an, saat seorang perempuan muda
bernama Maria Senhorinha de Lima dan keluarganya dikucilkan oleh gereja Katolik
setempat karena dituduh berbuat zina.
Perlahan-lahan, semakin banyak perempuan lajang dan para ibu
bergabung dengan komunitas itu. Pada 1940, seorang pendeta Anisio Pereira
memperistri seorang perempuan muda berusia 16 tahun dan mendirikan gereja di
komunitas itu.
Namun, pendeta Anisio kemudian menerapkan aturan ketat,
yaitu melarang warga minum minuman keras, mendengar musik, memotong rambut,
atau menggunakan alat kontrasepsi.
Ketika pendeta Anisio meninggal dunia pada 1995, para
perempuan ini memutuskan untuk tidak lagi membiarkan pria mendikte kehidupan
mereka. Salah satu hal pertama yang mereka lakukan adalah membubarkan
organisasi keagamaan yang dianggap bias jender.
Kini, para perempuan yang berkuasa di kota kecil itu. Mereka
mengerjakan semua hal sendiri, mulai dari bertani, merencanakan pembangunan
kota, hingga ritual keagamaan.
Namun, warga Noive de Cordeiro menghadapi satu masalah
utama, yaitu meski para perempuan ini berparas cantik, mereka kesulitan mencari
pasangan hidup. Nelma Fernandes (23), salah seorang warga kota, mengakui
mencari pasangan merupakan hal yang hampir mustahil untuk para perempuan kota
ini.
“Di sini, pria yang bisa ditemui para gadis lajang jika
tidak sudah menikah atau berkerabat dengan kami. Saya belum pernah mencium
seorang pria,” kata Nelma.
“Kami semua bermimpi untuk jatuh cinta dan menikah. Namun,
kami juga suka tinggal di sini dan tak mau meninggalkan kota hanya demi mencari
suami,” lanjut dia.
Kekurangan pria lajang kini membuat komunitas para perempuan
cantik itu mengajak para pria, yang tentu saja bersedia beradaptasi dengan
dunia perempuan, untuk tinggal di kota kecil itu.
“Kami ingin tahu pria yang ingin meninggalkan kehidupan
mereka dan menjadi bagian dari kami. Namun, pertama kali mereka harus setuju
menuruti perintah kami dan hidup sesuai aturan kami,” kata Nelma.
Meski sudah lama membubarkan gereja yang dirintis pendeta
Anisio, para perempuan kota ini merasa mereka tak pernah ditinggalkan Tuhan.
“Kami memiliki Tuhan di dalam hati kami. Namun, kami pikir
kami tak perlu pergi ke gereja, menikah di hadapan pendeta, atau membaptis
anak-anak kami. Semua adalah aturan yang dibuat para pria,” kata Rosalee
Fernandes (49).
Rosalee yakin dalam banyak hal perempuan jauh lebih baik
dibanding para pria. Dia mengatakan, di tangan para perempuan, kota Noiva do
Cordeiro jauh lebih cantik, lebih terorganisasi, dan lebih tenteram dibanding
jika kota itu dikelola para pria.
“Saat menghadapi masalah, kami memecahkan masalah dengan
cara perempuan. Kami mencari konsensus dan bukan konflik,” lanjut Rosalee.
“Kami berbagi semua hal, bahkan tanah tempat kami bekerja.
Tak ada kompetisi di antara kami. Semua dilakukan demi kebersamaan,” tambah
dia.
Pada saat-saat senggang, para perempuan ini mengisinya
dengan bergosip atau saling mencoba pakaian baru atau saling menata rambut.
“Bahkan, baru-baru ini kami patungan membeli TV layar lebar
sehingga kami bisa menonton opera sabun bersama,” kata Rosalee.
Kehidupan di Noiva do Cordeiro memang menyenangkan dan
nyaris tanpa kekurangan. Satu-satunya kekurangan yang dirasakan para perempuan
itu adalah kehadiran para pria yang menyayangi mereka.
Source: Mirror